Mitos dan Kebenaran
Tentang kebenaran, Saya menjadi teringat perkataan seorang ustad yang kajiannya pernah saya ikuti. Katanya sulit bahkan tidak mungkin merubah kebenaran yang sudah ada. Mencari celah kesalahan dan berusaha membuktikan bahwa kebenaran itu keliru justru membuat kebenaran itu semakin kuat. Yang bisa dilakukan untuk merubah kebenaran yang sudah ada adalah dengan menciptakan kebenaran baru. Tapi tentu tak semudah itu, perang antara “kebenaran lama” dan “kebenaran baru” bisa mengkorbankan banyak hal dan bisa berlangsung dalam waktu yang sangat lama.
Dan saya berfikir hal seperti itu juga berlaku untuk mitos. Mitos — mitos yang sudah ada dan diyakini sejak lama akan sangat susah diubah. Yang bisa kita lakukan adalah menciptakan “mitos baru”. “Mitos baru” bisa merubah bahkan bisa menggantikan mitos yang sudah ada. Tentu juga sama, tak semudah itu, perang antara “mitos lama” dan “mitos baru” pastinya akan menggusik dan mengganggu generasi lama, orang-orang sepuh.
Dalam lingkup keluarga misalnya, para orang tua mungkin sebagian akan tersadar dan menerima, tapi sebagian akan sakit hati, mengutuk dan mengganggap tidak menghormati. Begitu juga dalam lingkup yang lebih luas yakni masyarakat pastinya akan lebih susah dan potensi untuk dikucilkan masyarakat bisa sangat mungkin terjadi.
Saya pernah mendengar cerita tentang Gusdur, konon Gusdur pernah rajin ke tempat — tempat yang dikeramatkan yang digunakan warga sebagai tempat pemujaan. Mitos — mitos yang mengakar kuat di tempat — tempat seperti itu tidak bisa langsung dihapuskan. Melakukan pelarangan mungkin hanya bertahan satu dua bulan, setelah itu mitos — mitos yang diyakini akan kembali dilakukan.
Kira-kira apa yang dilakukan Gusdur melihat tempat seperti itu? Kalau ormas — ormas sebelah mungkin akan langsung dirusak, dibakar dan dibabat habis. Nah, kalau Gusdur beda, cerdasnya beliau menciptakan dan melengkapi mitos yang sudah ada sehingga tempat keramat itu berubah menjadi ramai, didatangi banyak orang dan tumbuh orang-orang yang berjualan. Disinilah pointnya, menggerakkan ekonomi umat, kemudian seiring berjalannya waktu, masyarakat secara mandiri menghadirkan dan mendirikan mushola/masjid ditempat itu.
Ada juga cerita ketika anak saya lahir, yakni mengenai popok. Ada orang yg berkunjung kemudian bilang kalau Popok (Popok sekali pakai) jangan dibuang di tempat sampah karena sampahnya akan dibakar sehingga menyebabkan sibayi demam panas, dibuang ke sungai saja katanya. Dalam hati saya bicara, pantas saja daerahnya kadang banjir, ternyata ada mitos-mitos semacam itu. Saya berfikir sepertinya wajib ada mitos baru untuk menggantikan atau melengkapi mitos tersebut, misal mitos popok tidak boleh dibuang di sungai karena bisa menyebabkan karir sibayi tenggelam. Popok juga tidak boleh dikubur didalam tanah karena akan menyebabkan potensi dan bakat sibayi terkubur selamanya.
Lalu baiknya harus dibuang kemana popok tersebut? Inilah tugas kita bersama sebagai generasi penerus baru, kita harus menciptakan mitos yang tidak hanya sebagai solusi yang baik tapi mitos yang juga ramah lingkungan, seperti popok baiknya dibawa ke tempat daur ulang, supaya rezeki sibayi terus berlanjut dan berulang tak terputus.
Itu adalah salah satu contoh tentang mitos — mitos yang ada disekitar kita, tentunya masih banyak lagi. Mitos tentang popok tersebut tingkatannya masih remeh temeh, masih banyak yang levelnya diatas itu, misalnya mitos tentang pasangan yang menikah karena weton yang tidak cocok bisa menyebabkan salah satu orang tuanya meninggal. Semua itu tantangan kita bersama, perang kita bersama, dan bisa kita mulai dari lingkungan terdekat kita, saya sendiri sudah memulainya, dari tulisan ini.
0 comments